Sabtu, 26 Februari 2011

Fatwa para ulama tentang maulid (1/2)

Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala
1. Syaikhul Islam Ahmad bin ‘Abdil Halim Ibnu Taimiyah -rahimahullah- :
a. Beliau berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298),
“Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari-hari raya yang syar’i, seperti beberapa malam dalam bulan Rabi’ul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jum’at pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang bodoh dengan ‘Iedul Abror [Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah “Lebaran Ketupat”], maka semua ini adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu -Subhanahu wa Ta’ala- A’lam”.
b. Beliau berkata dalam Al-Iqhtidho` (hal. 295),
“… Karena sesungguhnya hal ini (yaitu perayaan maulid) tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, padahal ada faktor-faktor yang mendukung (pelaksanaannya) dan tidak adanya faktor-faktor yang bisa menghalangi pelaksanaannya.
Seandainya amalan ini adalah kebaikan semata-mata atau kebaikannya lebih besar (daripada kejelekannya) maka tentunya para salaf -radhiyallahu ‘anhum- lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena mereka adalah orang yang sangat mencintai dan mengagungkan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dibandingkan kita, dan mereka juga lebih bersemangat dalam masalah kebaikan daripada kita.
Sesungguhnya kesempurnaan mencintai dan mengagungkan beliau hanyalah dengan cara mengikuti dan mentaati beliau, mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara batin dan zhohir, dan menyebarkan wahyu yang beliau diutus dengannya, serta berjihad di dalamnya dengan hati, tangan, dan lisan. Inilah jalan orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik”.
2. Imam Tajuddin Abu Hafsh ‘Umar bin ‘Ali Al-Lakhmy Al-Fakihany -rahimahullah-.
Beliau berkata di awal risalah beliau yang berjudul Al-Mawrid fii ‘Amalil Maulid,
“Saya tidak mengetahui bagi perayaan maulid ini ada asalnya (baca: landasannya) dari Al-Kitab, tidak pula dari Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalannya dari seorangpun di kalangan para ulama ummat ini yang merupakan panutan dalam agama, yang berpegang teguh dengan jejak-jejak para ulama terdahulu. Bahkan ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh orang-orang yang tidak punya pekerjaan (baca: kurang kerjaan) yang dikuasai oleh syahwat jiwanya dan bid’ah ini (hanya) disenangi oleh orang-orang yang suka makan”.
3. Syaikh ‘Abdul Lathif bin ‘Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Alu Asy Syaikh -rahimahullah-.
Beliau berkata ketika menerangkan tentang dakwah Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab,
“Beliau -yakni Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab- mengingkari apa yang terdapat pada manusia di negeri-negeri itu dan selainnya, berupa membesarkan/mengagungkan maulid-maulid dan hari-hari raya jahiliyah yang tidak pernah diturunkan (oleh Allah) hujjah tentang pengagungan tersebut. Tidak datang tentangnya hujjah syar’iyah dan tidak pula argument sedikitpun, karena di dalamnya ada penyerupaan kepada orang-orang Nashrani yang sesat dalam hal hari-hari raya mereka, baik yang berupa waktu maupun tempat. Dia adalah kebatilan dalam syari’at pimpinannya para Rasul”
[Lihat Majmu’atur Rosa`il An-Najdiyyah -cet. Al- Manar- (4/440) dan Ad-Durar As-Sunniyyah (4/409)]
4. Muhammad bin Muhammad Ibnul Haj Al-Maliky -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam Al-Madkhal (2/2),
“Termasuk perkara yang mereka munculkan berupa bid’ah -bersamaan dengan keyakinan mereka bahwa itu termasuk sebesar-besar ibadah dan dalam rangka menampakkan syi’ar-syi’ar (Islam)- adalah apa yang kerjakan dalam bulan Rabi’ul Awwal berupa maulid. Acara ini telah menghimpun sejumlah bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan”.
5. Al-Imam Ibrahim bin Musa Al-Lakhmy Asy-Syathiby -rahimahullah-.
Dalam kitab beliau yang penuh faidah, Al-I’tishom (1/53) tatkala beliau menyebutkan sisi-sisi penyelisihan bid’ah terhadap syari’at. Beliau berkata,
“Di antaranya adalah komitmen di atas kaifiat-kaifiat dan cara-cara tertentu, seperti berdzikir secara berjama’ah di atas satu suara, menjadikan hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai hari raya, dan yang semisalnya”.
6. Al-Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukany -rahimahullah-.
Beliau berkata,
“Saya tidak menemukan satupun dalil yang membolehkannya. Orang yang pertama kali mengada-adakannya adalah Raja Al-Muzhoffar Abu Sa’id pada abad ke tujuh [Tentang orang yang pertama kali melaksanakannya telah kami jelaskan di akhir bab Sejarah Munculnya Perayaan Maulid] dan kaum muslimin telah bersepakat bahwa itu adalah bid’ah”. Lihat kitab Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid karya ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Yamany hal. 37.
7. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh, Mufti Saudi Arabia -rahimahullah-.
a. Beliau berkata dalam Al-Fatawa war Rosa`il (3/34) ketika menjawab pertanyaan tentang hukum perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-,
“Segala puji hanya milik Allah, perayaan hari-hari maulid (ulang tahun), peringatan hari-hari [Seperti perayaan tahun baru, hari Ibu dan yang semisalnya], kejadian-kejadian [Seperti Isra` Mi’raj, Nuzulul Qur`an, hari Pahlawan, dan yang semisalnya], dan peristiwa-peristiwa tertentu [Seperti hari AIDS, peringatan Tragedi Tri Sakti, dan yang semisalnya], adalah termasuk di antara perkara-perkara yang disyari’atkan oleh orang-orang Nashrani dan Yahudi.
Sedangkan kita telah dilarang untuk merayakan hari-hari raya ahlul kitab dan orang-orang asing (non muslim), karena di dalamnya ada bentuk perbuatan bid’ah dalam agama dan penyerupaan terhadap orang-orang kafir.
Semua perkara yang dimunculkan berupa hari-hari raya dan peringatan-peringatan adalah kemungkaran dan perkara yang dibenci, walaupun di dalamnya tidak ada penyerupaan terhadap ahli kitab dan orang-orang asing karena semuanya termasuk dalam kategori bid’ah dan perkara-perkara baru. Bahkan walaupun perayaan itu untuk memperingati maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, karena asal (landasan) bagi seluruh ibadah adalah tidak disyari’atkan kecuali yang disyari’atkan oleh Allah -Ta’ala-”.
b. Beliau juga berkata dalam menjawab pertanyaan yang semakna dengannya,
“Tidak ada keraguan bahwa perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam agama setelah tersebarnya kebodohan di alam Islam, ketika penyesatan, kesesatan, kesalahan, dan prasangka menjadi medan yang membutakan pandangan-pandangan, kekuatan taqlid buta menguat di dalamnya, dan kebanyakan manusia tidak merujuk kepada apa yang ada dalil pensyari’atannya. Akan tetapi, mereka hanya merujuk kepada sesuatu yang dikatakan oleh si anu dan diridhoi oleh si anu. Bid’ah yang mungkar ini tidaklah memiliki satupun atsar yang disebutkan dari sisi para sahabat Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pula dari sisi tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka”.
Lalu beliau berkata,
“Jika perayaan-perayaan ini adalah murni kebaikan atau kebaikannya yang lebih mendominasi maka tentunya para salafushsholih lebih berhak untuk mengerjakannya daripada kita, karena sesungguhnya mereka lebih besar kecintaan dan pengagungannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dibandingkan kita dan mereka lebih bersemangat untuk mengerjakan kebaikan (daripada kita)”
[Lihat (3/38-39) dari kitab yang sama]
c. Pada (3/40) beliau ditanya dengan pertanyaan yang sama, maka beliau menjawab,
“Segala puji hanya milik Allah. Perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- bukanlah perkara yang disyari’atkan dan tidak dikenal di kalangan salafushsholeh -ridwanullahi ‘alaihim-.
Mereka tidak mengerjakannya, padahal ada faktor-faktor yang mengharuskan (pelaksanaannya) dan tidak adanya faktor-faktor penghalang (dalam pelaksanaannya). Seandainya hal itu adalah kebaikan maka pasti mereka telah mendahului kita dalam mengerjakannya karena mereka lebih berhak atas suatu kebaikan daripada kita, lebih mencintai Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan sangat mengagungkan beliau (dibandingkan kita).
Merekalah yang telah berhijrah bersama beliau, mereka meninggalkan kampung, harta, dan keluarga mereka. Mereka telah berjihad bersama beliau sampai terbunuh di dalamnya dan mereka menebus (baca : membela) beliau dengan jiwa dan harta mereka -radhiyallahu ‘anhum wa ardhohum-.
Tatkala hal ini tidak dikenal di kalangan salafushsholeh dan mereka tidak pernah mengerjakannya -padahal mereka adalah (manusia yang hidup di) zaman-zaman yang penuh keutamaan-, maka ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah yang diada-adakan”.
8. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Mufty Saudi Arabia -rahimahullah-.
a. Beliau berkata dalam risalah beliau yang berjudul At-Tahdzir minal Bida’, (hal. 7-8),
“Tidak boleh merayakan maulid Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan tidak pula maulid (ulang tahun) selainnya, karena hal itu adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang dimunculkan dalam agama. Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah mengerjakannya, tidak pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula selain mereka dari kalangan para sahabat -ridhwanullahi ‘alaihim-, dan tidak pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah, lebih sempurna kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, dan lebih mengikuti syari’at beliau dibandingkan orang-orang setelah mereka”.
b. Pada hal. 47-48 beliau ditanya tentang sebagian perayaan, seperti maulid Nabi, Isra` Mi’raj, dan Tahun Baru Hijriah, maka setelah beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyempurnakan agama Islam ini dan Dia telah melarang dari berbuat bid’ah di dalamnya, beliau berkata,
“Perayaan-perayaan ini -yang disebutkan dalam pertanyaan- tidak pernah dikerjakan oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Padahal beliau adalah manusia yang paling fasih, paling tahu tentang syari’at Allah, paling bersemangat dalam memberikan hidayah kepada ummat dan memberikan tuntunan kepada mereka menuju perkara yang mendatangkan manfaat bagi mereka dan yang diridhoi oleh Maula (Penolong) mereka (yakni Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Hal ini juga tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum-, padahal mereka adalah manusia yang terbaik, paling berilmu setelah para nabi, dan yang paling bersemangat dalam (mengerjakan) kebaikan. Hal itu juga tidak pernah dilakukan olah para imam yang berada di atas hidayah di zaman-zaman keutamaan.
Bid’ah ini tidaklah diada-adakan kecuali oleh sebagian orang-orang belakangan berlandaskan ijtihad dan sangkaan baik, tanpa dalil. Kebanyakan mereka berlandaskan taqlid kepada orang-orang yang telah mendahului mereka dalam perayaan ini. Yang wajib atas seluruh kaum muslimin adalah hendaknya mereka berjalan di atas jalan yang dipijak oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan para sahabat beliau -radhiyallahu ‘anhum- serta harus waspada terhadap perkara-perkara yang diada-adakan oleh manusia dalam agama Allah sepeninggal mereka, inilah jalan yang lurus dan manhaj yang kokoh”
Lihat juga Fatawa beliau (4/280-282)
c. Beliau berkata pada hal. 50-51 ketika beliau ditanya tentang merayakan hari-hari maulid (hari lahir/ulang tahun),
“Perayaan hari-hari maulid (ulang tahun/milad) adalah tidak ada landasannya dalam syari’at yang suci ini, bahkan dia adalah bid’ah …”.
Lalu beliau berkata,
“Telah diketahui bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah merayakan hari maulid (ulang tahun) beliau sepanjang hidup beliau, tidak pula pernah memerintahkan untuk mengerjakannya, dan tidak pula pernah mengajarkannya kepada para sahabat beliau.
Demikian pula para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk dan seluruh sahabat beliau, mereka semua tidak pernah mengerjakannya. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui sunnah beliau, manusia yang paling mencintai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan manusia yang paling semangat untuk mengikuti apa saja yang dibawa oleh beliau.
Seandainya perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- disyari’atkan, maka pasti mereka telah bersegera untuk melaksanakannya. Demikian pula para ulama di zaman-zaman keutamaan, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengerjakannya dan tidak pula menyuruh untuk mengerjakannya”
[Lihat juga Al-Fatawa (4/285)]
d. Beliau juga berkata pada hal. 54-55,
“Tidak ada keraguan bahwa Allah -Subhanahu wa Ta’ala- telah mensyari’atkan untuk kaum muslimin dua hari raya, yang mereka berkumpul di dalamnya untuk berdzikir [Tapi bukan dzikir secara berjama’ah. Namun maksudnya berkumpul dalam satu tempat, lalu masing-masing berdzikir sendiri menurut apa yang mereka kehendaki. (ed)] dan melaksanakan sholat, keduanya adalah: ‘Iedul Fithri dan ‘Iedul Adh-ha sebagai pengganti hari-hari raya jahiliyah.
Dia telah mensyari’atkan hari-hari raya yang mengandung berbagai bentuk dzikir dan ibadah, seperti hari Jum’at, hari ‘Arafah, dan hari-hari Tasyriq. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- tidak pernah mensyari’atkan untuk kita hari raya maulid (hari lahir/ulang tahun), baik maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maupun maulid selainnya.
Bahkan dalil-dalil syari’at dari Kitab dan Sunnah telah menunjukkan bahwa perayaan-perayaan maulid termasuk di antara perkara-perkara bid’ah yang dimunculkan dalam agama serta termasuk tasyabbuh kepada musuh-musuh Allah dari kalangan orang-orang Yahudi, Nashrani, dan selain mereka”.
[Lihat juga Al-Fatawa (4/286-288)]
e. Pada hal. 58, beliau berkata,
“Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengadakan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- pada malam 12 Rabi’ul Awwal dan tidak pula pada malam selainnya. Sebagaimana halnya tidak boleh bagi mereka untuk mengadakan perayaan terhadap hari lahir siapapun selain beliau -‘alaihish sholatu wassalam-, karena perayaan-perayaan maulid (hari lahir) adalah termasuk bid’ah yang diada-adakan dalam agama.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidak pernah merayakan hari maulid beliau sepanjang hidup beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, padahal beliau adalah penyampai agama dan pemberi syari’at dari Tuhannya -Subhanahu- dan beliau tidak pula pernah memerintahkan untuk mengerjakannya. Juga tidak pernah dikerjakan oleh para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula para sahabat beliau seluruhnya, dan tidak pula orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada zaman-zaman keutamaan. Maka diketahuilah bahwa itu adalah bid’ah”
[Lihat Al-Fatawa (4/289)]
9. Syaikh ‘Abdullah bin Muhammad bin Humaid, anggota Hai`ah Kibarul ‘Ulama (Majelis Ulama Besar) Saudi Arabiah -rahimahullah-.
Beliau berkata ketika membantah orang-orang yang mengatakan bahwa merayakan maulid adalah suatu bentuk menampakkan kesyukuran kepada Allah -‘Azza wa Jalla- atas terciptanya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-,
“Tidak diragukan bahwa beliau adalah pimpinan seluruh makhluk, manusia yang paling agung dan paling afdhol sepanjang masa. Akan tetapi kenapa tidak ada seorangpun dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam ahli ijtihad, dan tidak pula orang-orang yang hidup di 3 abad pertama -yang mereka dipersaksikan oleh Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dengan kebaikan- yang tegak melaksanakan kesyukuran seperti ini [Yakni dengan mengadakan perayaan maulid]?!
Padahal mereka lebih besar kecintaannya kepada beliau dibandingkan kita, lebih bersemangat kepada kebaikan, dan lebih mengikuti beliau dibandingkan kita. Bahkan kesempurnaan kecintaan dan pengagungan kepada beliau adalah dengan mengikuti beliau, mentaati beliau, mengikuti perintah beliau, menjauhi larangan beliau, menghidupkan sunnah beliau secara zhohir dan batin, menyebarkan syari’at yang beliau bawa, serta berjihad atas semua hal itu dengan hati, tangan dan lisan.
Inilah cara orang-orang yang terdahulu lagi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik, bukan dengan cara mengadakan perayaan-perayaan bid’ah yang merupakan sunnah-sunnah Nashrani”.
[Lihat Ar-Rosa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal. 39]
10. Syaikh Muhammad bin ‘Abdis Salam Asy-Syuqoiry -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam kitabnya As-Sunan wal Mubtada’at Al-Muta’alliqah bil Adzkar wash Sholawat, hal. 138-139,
“Pada bulan ini (Rabi’ul Awwal) beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dilahirkan dan pada bulan ini pula beliau diwafatkan, maka kenapa mereka bergembira dengan kelahiran beliau dan tidak bersedih dengan kematian beliau?!
Jadi, menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari raya dan peringatan adalah bid’ah yang mungkar dan sesat, tidak dibawa (baca: diterangkan) oleh syari’at maupun akal.
Seandainya di dalamnya ada kebaikan maka bagaimana mungkin Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali -ridhwanullahi ‘alaihim- serta seluruh sahabat, tabi’in, orang-orang yang mengikuti mereka, para imam, dan yang mengikuti mereka bisa lalai darinya?!”.
11. Syaikh ‘Ali Mahfuzh -rahimahullah-.
Dalam kitab beliau yang berjudul Al-Ibda’ fii Madhorril Ibtida, hal. 272 tatkala beliau menyebutkan beberapa contoh hari raya yang disandarkan kepada syari’at, padahal dia bukan termasuk darinya, beliau berkata,
“… di antaranya adalah malam ke 12 Rabi’ul Awwal, manusia berkumpul di masjid-masjid dan selainnya untuk merayakannya (bid’ah maulid). Sehingga mereka melanggar kehormatan rumah-rumah Allah -Ta’ala-, mereka berbuat isrof (berlebih-lebihan) di dalamnya, para pembaca meninggikan suara-suara mereka dengan melantunkan qoshidah-qoshidah berupa nyanyian (nasyid dan yang semisalnya) yang membangkitkan syahwat para pemuda untuk berbuat kefasikan dan kefajiran.
Maka engkau melihat mereka ketika itu berteriak dengan suara-suara kemungkaran, memunculkan di dalam masjid-masjid goncangan yang mengagetkan. Terkadang mereka sama sekali tidak menyinggung dalam qoshidah-qoshidah mereka, sedikitpun di antara kekhususan-kekhususan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, akhlak-akhlak beliau yang mulia, dan amalan-amalan beliau yang bermanfaat dan mulia. Di antara mereka ada yang menyibukkan diri dengan dzikir-dzikir yang dibuat-buat. 

Fatwa para ulama tentang maulid (2/2)

Oleh: al Ustadz Abu Mu’awiyyah Hammad Hafizhahullahu ta’ala
12. Muhadditsul Yaman, Asy-Syaikh Muqbil bin Hady Al-Wadi’iy -rahimahullah-.
a. Beliau ditanya tentang hukum perayaan maulid dan Isra` Mi’raj: Apakah dia adalah bid’ah atau sunnah yang baik, maka beliau menjawab,
“(Semuanya adalah) bid’ah, semua ini tidak pernah ada di zaman Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- …”.
Lalu beliau membawakan beberapa dalil tentang haramnya berbuat bid’ah. Lihat kitab beliau Ijabatus Sa`il no. pertanyaan 166.

b. Dalam no. 167 ketika beliau ditanya tentang perayaan maulid, Isra` Mi’raj, dan tahun baru, maka beliau menjawab, “(Semuanya adalah) bid’ah sedangkan Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami sesuatu yang tidak ada di dalamnya, maka itu tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).
Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir bahwa perayaan ini adalah bid’ah, tidak tsabit (shohih) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula dari para sahabat dan para tabi’in. Yang pertama kali merayakannya adalah ‘Ubaid bin Maimun Al-Qiddah.
Ada yang berpendapat bahwa (awal) perayaannya pada abad keenam oleh sebagian raja-raja bodoh yang ingin mengadakan perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- lebih megah daripada maulid Nashrani (Kelahiran Nabi ‘Isa -‘alaihis salam-).
Semua ini disebutkan oleh Abu Syamah dan dia mensyukurinya. Akan tetapi, Abu Syamah telah bersalah ketika mensyukuri perkara yang dibuat-buat ini karena ini adalah bid’ah. Demikian pula hari ibu dan hari kemerdekaan, semuanya adalah hari-hari raya jahiliyah yang tidak pernah diturunkan oleh Allah suatu sulthon (argumen/hujjah) atasnya.
Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- telah bersabda:
“Saya terutus kepada kalian sedang kalian (dulunya) mempunyai dua hari raya yang kalian bermain di dalamnya pada masa jahiliyah, dan sungguh Allah telah mengganti keduanya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, (yaitu) hari Nahr (’Idul Adh-ha) dan hari Fithr (’Idul Fithri)” (Telah berlalu takhrijnya).
Hari raya selainnya merupakan hari-hari raya jahiliyah yang kami berlepas diri darinya. Maka kaum muslimin, wajib atas mereka untuk mengikuti Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Inipun kalau perayaan maulid itu selamat dari ikhtilath (percamburbauran antara lelaki dan wanita), pelaksanaan perbuatan fahisy (keji), dan selamat dari bentuk-bentuk kesyirikan, dan selainnya. Semua ini adalah kebatilan-kebatilan yang tidak akan hilang kecuali dengan menyebarkan sunnah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
13. Faqihuz Zaman Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin -rahimahullah-.
a. Beliau berkata dalam Al-Fatawa, kumpulan Asyraf ‘Abdul Maqshud (1/126) ketika ditanya tentang hukum syar’i perayaan maulid Nabawy,
“… Seandainya perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- termasuk perkara-perkara yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pasti akan disyari’atkan.
Seandainya disyari’atkan, maka pasti akan terjaga karena Allah telah menjamin untuk menjaga syari’at-Nya, dan seandainya terjaga maka tidak akan ditinggalkan oleh para khalifah yang mendapatkan petunjuk, demikian pula para sahabat, yang mengikuti mereka dengan baik, dan yang mengikuti mereka setelahnya.
Tatkala mereka semua tidak pernah mengerjakan sesuatu apapun dari hal tersebut, diketahuilah bahwa hal itu bukan termasuk agama Allah”.
b. Dan dalam Majmu’ Fatawa beliau, kumpulan Fahd bin Nashir bin Ibrahim As-Sulaimany (7/364-365), beliau berkata,
“Dari penjelasan yang telah berlalu, nampak jelas bagi kita bahwa perayaan maulid Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- adalah tidak boleh. Bahkan dia adalah perkara bid’ah dikarenakan 2 hal:
1. Malam kelahiran Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- tidaklah diketahui secara pasti, bahkan sebagian orang-orang belakangan menguatkan bahwa malam maulid adalah malam ke 9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke 12. Oleh karena itulah, menjadikan perayaan ini pada malam ke 12 adalah tidak memiliki landasan dari sisi sejarah.
2. Dari sisi syari’at, perayaan ini juga tidak memiliki landasan. Karena seandainya, jika dia adalah bagian dari syari’at Allah, maka pasti akan dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- atau beliau sampaikan kepada ummatnya. Seandainya beliau mengerjakannya atau menyampaikannya, maka wajib hal itu terpelihara karena Allah -Ta’ala- berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(QS. Al-Hijr : 9)
Maka tatkala tidak ada sedikitpun keterangan tentang hal tersebut, diketahuilah bahwa dia bukan bagian dari agama Allah. Jika dia bukan bagian dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dan bertaqarrub kepada Allah -’Azza wa Jalla- dengannya”.
Kemudian beliau berkata lagi,
“Maka kami katakan: Perayaan ini, jika dia merupakan bagian dari kesempurnaan agama, maka pasti ada sebelum wafatnya Rasul -‘alaihish sholatu wassalam-. Jika dia bukan bagian dari kesempurnaan agama, maka tidak mungkin dia akan menjadi bagian agama karena Allah -Ta’ala- berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.
(QS. Al-Ma`idah : 3)
Barangsiapa yang menyangka bahwa dia bagian dari kesempurnaan agama, padahal dia muncul setelah Rasul -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka ucapannya itu mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia ini”.
14. Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan -hafizhohullahu Ta’ala-.
a. Beliau berkata dalam risalah beliau yang ringkas berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikral Maulid An-Nabawy setelah beliau menyebutkan beberapa syubhat orang-orang yang membolehkan perayaan maulid dan membantahnya, beliau berkata,
“Kesimpulan permasalahan, perayaan memperingati maulid Nabawy -dengan berbagai macam bentuk dan beraneka ragam cara pelaksanaannya- adalah bid’ah mungkar yang wajib atas kaum muslimin untuk melarang (pelaksanaan)nya dan juga melarang bid’ah-bid’ah lainnya.
Dan wajib atas mereka untuk menyibukkan diri dengan menghidupkan sunnah dan berpegang teguh dengannya, serta jangan tertipu dengan orang-orang yang mencoba melariskan dan membela bid’ah ini.
Karena orang semacam ini perhatiannya untuk menghidupkan bid’ah-bid’ah lebih besar daripada perhatian mereka untuk menghidupkan sunnah-sunah, bahkan kadang mereka sama sekali tidak memiliki perhatian terhadap sunnah-sunnah.
Orang yang seperti ini tidak boleh untuk diikuti dan dicontoh walaupun kebanyakan manusia adalah dari jenis ini. Akan tetapi yang dicontoh hanyalah orang-orang yang berjalan di atas manhaj sunnah dari kalangan salafush sholih dan yang mengikuti mereka walaupun mereka sedikit, karena kebenaran itu tidaklah diketahui dengan orang-orang akan tetapi orang-oranglah yang dikenal dengan kebenaran”.
b. Dalam Al-Muntaqo (2/ no. pertanyaan 160) beliau ditanya seputar perkara maulid, maka beliau menjawab,
“Amalan maulid Nabawy adalah bid’ah, tidak warid (datang) dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula dari para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, para sahabat beliau yang mulia, dan tidak pula dari zaman-zaman keutamaan bahwa mereka mengerjakan maulid ini.
Padahal mereka adalah manusia yang paling besar kecintaannya kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan ummat yang paling bersemangat untuk mengerjakan kebaikan. Akan tetapi mereka tidak pernah mengerjakan satupun ketaatan, kecuali sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai pengamalan firman Allah -Ta’ala-:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
(QS. Al-Hasyr : 7)
Maka tatkala mereka tidak pernah mengerjakan maulid ini, diketahuilah bahwa dia adalah bid’ah”.
c. Pada pertanyaan no. 161 beliau ditanya tentang hukum perayaan hari ibu dan hari maulid (hari lahir), maka beliau menjawab,
“Perayaan hari-hari maulid, apakah itu maulid para Nabi, para ulama, raja-raja, dan para pemimpin, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang Allah -Ta’ala- tidak pernah menurunkan hujjah atasnya.
Semulia-mulia orang yang dilahirkan adalah Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, akan tetapi tidak tsabit (shohih) dari beliau, tidak pula dari para khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk, tidak pula dari para sahabat beliau, tidak pula dari orang-orang yang mengikuti mereka, dan tidak pula dari zaman-zaman keutamaan bahwa mereka mengadakan perayaan yang berkenaan dengan kelahiran beliau -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
Tidaklah hal ini melainkan termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan, muncul setelah berlalunya zaman-zaman keutamaan melalui tangan sebagian orang-orang bodoh yang bertaqlid kepada Nashrani dalam perayaan mereka terhadap maulid Al-Masih (Isa) -‘alaihis salam-”.
d. Beliau berkata dalam kitab beliau At-Ta’liqatul Mukhtashoroh ‘alal ‘Aqidatith Thohawiyyah, ketika mensyarah perkataan Imam Ath-Thohawy -rahimahullah-,
[“Kami mengikuti Sunnah dan Jama’ah serta kami menjauhi keganjilan, perselisihan, dan perpecahan”], beliau (Syaikh Al-Fauzan) berkata,
“Termasuk di antara bid’ah-bid’ah, sesuatu yang diamalkan berupa perayaan maulid Nabi (-Shollallahu alaihi wa sallam-). Dia adalah bid’ah, tidak ada dalilnya dari Kitab, tidak pula dari Sunnah, tidak pula berasal dari petunjuk para khalifah yang mendapatkan petunjuk, dan tidak pula dari petunjuk (para ulama yang hidup) pada zaman-zaman keutamaan yang dipersaksikan dengan kebaikan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-.
Bid’ah ini tidaklah muncul kecuali setelah berlalunya zaman-zaman (keutamaan) ini, tatkala tersebarluasnya kebodohan. Orang yang pertama kali memunculkan maulid ini adalah Syi’ah Al-Fathimiyyun yang kemudian diambil (baca : diikuti) oleh orang-orang yang tertipu dan menyandarkan dirinya kepada Ahlus Sunnah karena niat dan maksud yang baik.
Mereka menyangka bahwa hal itu termasuk bentuk mencintai Rasul (-Shollallahu alaihi wa sallam-), padahal bukan seperti itu cara mencintai beliau, akan tetapi mencintai beliau hanyalah dengan mengikuti beliau, bukan dengan berbuat bid’ah”.
15. Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany -rahimahullah-.
Beliau berkata dalam sebagian muhadharah (ceramah) beliau yang terekam dengan berjudul Bid’atul Maulid,
“… kami dan mereka -yaitu para pelaku maulid- bersepakat bahwa perayaan ini adalah perkara baru yang tidak pernah ada sama sekali di zaman beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, bahkan tidak pernah ada di tiga zaman keutamaan sebagaimana yang baru kita sebutkan.
Di antara perkara yang sudah dimaklumi bersama bahwa Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau tidak pernah merayakan hari kelahiran beliau. Karena perayaan hari kelahiran, siapapun orangnya tidaklah datang kecuali berasal dari jalan orang-orang Nashrani Al-Masihiyah. Perayaan itu tidak dikenal oleh Islam secara mutlak pada zaman yang baru kita sebutkan. Maka tentunya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lebih pantas untuk tidak mengetahuinya. Lagi pula ‘Isa sendiri tidak pernah merayakan kelahiran beliau …”.
16. Syaikh ‘Ali bin Muhammad Nashir Al-Faqihy -hafizhohullah-.
Beliau berkata dalam kitab beliau yang berjudul Al-Bid’ah, Dhowabithuha, wa Atsaruha As-Sayyi` fil Ummah, hal. 20-21,
“Sesungguhnya perayaan maulid adalah kedurhakaan kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- dan penyelisihan yang jelas terhadap larangan beliau. Beliau bersabda dalam hadits Al-Bukhary dan Muslim [Yang benar, lafazh ini hanyalah diriwayatkan oleh Imam Muslim saja sebagaimana yang telah berlalu]:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (Telah berlalu takhrijnya).
Beliau (jugs) bersabda dalam hadits yang shohih:
“Setiap perkara baru adalah bid’ah” (Telah berlalu takhrijnya).
Sedangkan maulid adalah perkara baru, tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, tidak pula empat khalifah beliau yang mendapatkan petunjuk dan tidak pula oleh seorangpun dari para sahabat beliau. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui tentang sunnah-sunnah beliau serta lebih bersemangat dalam mengagungkan dan memuliakan Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-.
17. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-‘Abbad Al-Badr -hafizhohullah-.
Beliau berkata dalam Al-Hatsts ‘alal Ittiba’ wat Tahdzir minal Bida’ wa Bayani Khothoriha, hal. 55-56,
“Termasuk bid’ah-bid’ah zamaniah (yang berkaitan dengan waktu) adalah perayaan maulid-maulid (hari-hari lahir), seperti perayaan maulid beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, karena ini adalah termasuk bid’ah-bid’ah yang dimunculkan di abad keempat Hijriah. Tidak datang dari Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, para khalifah dan sahabat beliau sedikitpun tentang hal tersebut. Bahkan tidak datang dari tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka, sedangkan telah berlalu 300 tahun sebelum munculnya bid’ah ini”.
18. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz bin Ahmad At-Tuwaijiry -hafizhohullah-.
Beliau berkata setelah menyebutkan perkataan para ulama terdahulu dan belakangan tentang bid’ahnya maulid,
“Maka dari sela-sela syawahid (pendukung-pendukung) berupa atsar-atsar para salafush sholih dan yang mengikuti manhaj mereka ini, nampak jelas bagi kita bahwa mereka telah bersepakat bahwa sesungguhnya perayaan maulid Nabawy adalah bid’ah yang diada-adakan, tidak datang atsarnya (dalilnya) dari Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula dari para sahabat beliau -ridhwanullahi ‘alaihim-, tidak pula dari para tabi’in, tabi’ut tabi’in dan yang mengikuti mereka dari kalangan imam-imam yang terkenal dari pendahulu kita yang sholeh -rahmatullah ‘alaihim-”
Lihat Kitab beliau Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 205
19. Syaikh ‘Abdurrahman bin Jibrin -hafizhohullah-.
Beliau ditanya -di sela-sela pelajaran beliau ketika mensyarah (menjelaskan) kitab Al-Ibanah Ash-Shugro- tentang maulid Nabawy dan Isra` Mi’raj, apakah termasuk bid’ah padahal dia adalah amalan kebaikan dan terkadang para pelakunya menangis di dalamnya. Maka beliau menjawab,
“Iya, perayaan maulid adalah bid’ah karena tidak pernah dikerjakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sepanjang hidup beliau dan tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat yang mereka ini merupakan sebaik-baik manusia (yaitu) para khalifah yang mendapatkan petunjuk. Abu Bakr tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, Umar juga tidak pernah merayakan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, tidak pula dikerjakan oleh ‘Utsman dan tidak juga oleh ‘Ali -radhiyallahu ‘anhum- .
Perayaan maulid ini tidak ada pada abad pertama, tidak pula pada abad kedua dan tidak pula pada abad ketiga. Akan tetapi tidak muncul, kecuali pada abad keempat Hijriah yang dimunculkan oleh Kekhalifahan Al-Fathimiyyun Asy-Syi’ah dalam rangka mencontoh dan menyerupai orang-orang Nashrani yang mengadakan perayaan maulid bagi Al-Masih ‘Isa bin Maryam -‘alaihish sholatu wassalam-. Hal ini menunjukkan bahwa dia adalah bid’ah.
Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- telah bersabda:
“Setiap bid’ah adalah sesat” (Telah berlalu takhrijnya).
Ini adalah termasuk bid’ah, demikian pula halnya dengan perayaan malam Isra` Mi’raj, semuanya adalah termasuk bid’ah-bid’ah.
Seandainyapun seseorang itu menangis, tapi bila tangisannya tersebut di atas selain hidayah, maka tangisannya tidak akan bermanfaat baginya. Terkadang seseorang itu menangis sedangkan dia di atas kekafiran sehingga tangisannya tidak bermanfaat baginya. Tangisannya tidak menambah baginya kecuali semakin jauh (dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-).
Tidakkah engkau membaca firman Allah -Ta’ala-:
“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”. (QS. Al-Ghasyiah : 2-5)
[“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina”], tunduk lagi rendah. [“Bekerja keras”], dia telah beramal, sibuk siang dan malam dengan sholat dan puasa, tetapi tidak di atas ilmu, tidak sesuai dengan syari’at lagi berbuat syirik. [“Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan”], lelah dalam beribadah dan beramal, akan tetapi bersamaan dengan itu (mereka) [“memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas”] yaitu yang sangat panas, yang kedahsyatan panasnya telah sampai pada puncaknya dan dia diberikan minum darinya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah.
Jadi, tidak semua yang menangis berarti di atas kebenaran. Seorang kafir bisa menangis, padahal dia di atas kebatilan. Kita memohon keselamatan dan ‘afiat kepada Allah”.
20. Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Ar-Rojihy -hafizhohullah-.
Beliau berkata disela-sela mensyarh kitab Syarhus Sunnah karya Al-Barbahary -rahimahullah- ketika menyebutkan tentang bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan waktu,
“… di sana ada beberapa bid’ah yang berkaitan dengan bulan Rabi’ul Awwal. Yang paling nampak adalah bid’ah perayaan maulid, perayaan hari maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-. Mereka berkumpul di malam harinya, lalu membaca sirah (sejarah) beliau dan beberapa qoshidah yang memuji Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- dan terkadang di dalamnya ada syirik akbar kepada Allah -Jalla wa ‘Ala-”.
21. Syaikh Sholih bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Asy-Syaikh -hafizhohullah-, Menteri Agama Saudi Arabiah.
Beliau berkata ketika beliau menyebutkan beberapa bid’ah dan larangan yang berkenaan dengan tauhid, “Mengadakan perayaan-perayaan yang beraneka ragam dengan maksud taqarrub kepada Allah dengannya.
Seperti perayaan maulid nabawi, perayaan hijrah (Nabi), perayaan tahun baru hijriah, perayaan Isra` dan Mi’raj, dan yang semisalnya.
Perayaan-perayaan ini adalah bid’ah, karena dia adalah ajang berkumpulnya (manusia) pada amalan-amalan yang dimaksudkan sebagai taqarrub kepada Allah. Sedangkan tidak boleh bertaqarrub kepada Allah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, dan Allah tidaklah boleh disembah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan. Maka semua perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah dan semua bid’ah terlarang untuk mengerjakannya”
Lihat Al-Minzhor fii Bayani Katsirin minal Akhtho` Asy-Sya`i’ah.
22. Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmy -hafizhohullah-, Mufty Saudi Arabia Bagian Selatan
Dalam kitab beliau yang menjelaskan tentang kesesatan Ikhwanul Muslimin dan Jama’ah Tabligh yang berjudul Al-Mawridul ‘Adzbizh Zhallal, beliau berkata,
“Perayaan ini (maulid) adalah bid’ah yang dimunculkan oleh Al-‘Ubaidiyyun [Biasa juga dinamai dengan Al-Fathimiyyun, Syi’ah atau Al-Bathiniyyah [ed]] yang menguasai Mahgrib (baca: Maroko) yang kemudian kekuasaannya meluas sampai ke Mesir pada abad ke 5 Hijriah.
Maulid tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari khalifah yang empat, tidak pula oleh seluruh sahabat lainnya dan juga tidak pernah dikerjakan oleh seorangpun dari orang yang hidup di zaman-zaman keutamaan. Apakah mereka mengetahui keutamaannya lantas meninggalkannya atau mereka tidak mengetahuinya?!
Kalau kalian mengatakan bahwa mereka mengetahui keutamaannya tapi mereka meninggalkannya, maka kalian telah berdusta atas nama mereka. Kalau kalian mengatakan bahwa mereka tidak mengetahuinya sedangkan kalian yang mengetahuinya, maka kalian lebih berhak untuk tidak tahu daripada mereka”.
23. Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hady Al-Madkhaly -hafizhohullah-.
Beliau berkata dalam kumpulan fatwa beliau yang berjudul Al-Ajwibah As-Sadidah (3/564-565),
“Adapun perayaan maulid Rasul yang agung -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam-, maka tidak datang pensyari’atannya baik dari Al-Kitab, maupun sunnah qauliyah (berupa ucapan), (sunnah) fi’liyah (berupa perbuatan) dan (sunnah) taqririyah (berupa persetujuan) serta tidak juga dari atsar perbuatan para salaf yang mulia yang merupakan penjaga agama ini dari berbagai bid’ah dan benteng aqidah kaum muslimin dari kerusakan dan kerancuan”.
Kitab-kitab para ulama yang membahas akan bid’ahnya maulid

Adapun para ulama yang berbicara dan mengarang kitab tentang bid’ahnya maulid adalah:
1. Syaikh Abu Bakr Al-Jaza`iry.
Risalah beliau berjudul Al-Inshof fima Qila fil Maulid minal Ghuluwwi wal Ij’af.
2. Syaikh Hamud bin ‘Abdillah At-Tuwaijiry.
Beliau mengarang sebuah kitab yang berisi bantahan terhadap 3 orang yang membolehkan maulid, yang beliau namakan Ar-Roddul Qowy ‘alar Rifa’iy wal Majhul wa Ibni ‘Alwy wa Bayanu Akhtho`ihim fil Maulid An-Nabawy.
3. Syaikh ‘Abdullah bin Sulaiman bin Mani’.
Beliau juga mengarang sebuah kitab yang berjudul Al-Hiwar ma’al Maliky yang berisi bantahan terhadap Muhammad Alwi Al-Maliky, seorang ahli bid’ah yang membolehkan perayaan maulid. [Namun yang disayangkan bahwa orang ini (al-maliky) ditokohkan oleh sebagian tokoh agama -terlebih orang awam- di negeri kita, bahkan dianggap sebagai “wali Allah”. Padahal wali Allah bukanlah orang-orang yang suka menghidupkan suatu bid’ah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi -Shollallahu 'alaihi wasallam-.[ed]]
4. Syaikh Abu Ath-Thoyyib Muhammad bin Syamsul Haq Al-‘Azhim Abady, seorang ulama India.
Beliau menulis mengenai pengingkaran terhadap bid’ah maulid dalam ta’liq (komentar) beliau terhadap kitab Al-Aqdhiyah wal Ahkam dari Sunan Ad-Daraquthny ketika beliau mengomentari hadits ‘A`isyah tentang bid’ah.
5. Syaikh Basyiruddin Al-Qonujy, Guru Abu Ath-Thoyyib.
Beliau memiliki karangan tersendiri dalam masalah ini yang beliau namakan Ghoyatul Kalam fii Ibtholi ‘Amalil Maulid wal Qiyam.
6. Syaikh Mushthofa Al-‘Adawy.
7. Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushoby Al-‘Abdaly Al-Yamany.
8. ‘Abdul Majid Ar-Roimy.
9. Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Ar-Roimy.
10. Syaikh Muhammad bin Muhammad Mahdy.
11. Syaikh Ahmad bin Hasan Al-Mu’allim.
12. Syaikh Muhammad bin Sa’id Asy-Syaibany.
13. Syaikh ‘Umar bin ‘Ali Saqim.
14. Syaikh Muhammad bin ‘Ali Muhammady.
15. Syaikh Ahmad Adh-Dhomiry.
16. Semuanya disebutkan oleh ‘Uqail bin Muhammad bin Zaid Al-Muqthiry Al-Yamany dalam kitab beliau Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid hal. 34-40
17. Muhammad Rasyid Ridho.
18. Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawany Al-Hindy dalam kitabnya yang berjudul Shiyanatul Insan. Keduanya disebutkan oleh Syaikh Sholih bin Fauzan dalam risalah beliau yang berjudul Hukmul Ihtifal bi Dzikril Maulid An-Nabawy.
19. Syaikh Abu ‘Abdillah Muhammad Al-Haffar, seorang ulama Maghrib.
20. Syaikh Muhammad Bukhaith Al-Muthi’iy Al-Hanafy, Mufti Negeri Mesir.
21. Syaikh Al-Mujaddid Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
22. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh dalam Ad-Durarus Sunniyah
23. Syaikh Ismail Al-Anshory, risalah beliau berjudul Al-Qaulul Fashl fii Hukmil Ihtifal bi Maulidi Khairir Rusul.
24. Semuanya disebutkan oleh Nashir bin Yahya Al-Hunainy dalam sebuah risalahnya tentang bid’ahnya perayaan maulid.
25. Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Lathif -rahimahullah-.
26. Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan -rahimahullah-. Akan datang perkataan beliau berdua pada bab setelah ini.
PENGAKUAN dari para ulama yang membolehkan maulid, bahwa maulid BARU MUNCUL setelah generasi terbaik umat ini
1.      Imam As-Suyuthy -rahimahullah- berkata dalam Husnul Maqshod yang tergabung dalam kitab Al-Hawy lil Fatawa (1/189),
Yang paling pertama mengerjakannya (yaitu perayaan maulid) adalah penguasa Irbil Raja Al-Muzhoffar”.
[Lihat kembali masalah ini di akhir bab Definisi dan Sejarah Munculnya Perayaan Maulid]
2.      Imam Abu Syamah -rahimahullah- berkata dalam Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits, hal. 95,
“Termasuk (bid’ah) yang paling baiknya di antara (bid’ah-bid’ah) yang dimunculkan di zaman kita dari jenis ini (yakni bid’ah hasanah [Lihat masalah bid’ah hasanah pada bab Tidak Ada Bid'ah Hasanah Dalam Islam] -menurut beliau-) adalah sesuatu yang dikerjakan di negeri Irbil -semoga Allah memperbaikinya- setiap tahun, pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- berupa sedekah, amalan kebaikan, menampakkan perhiasan, dan kegembiraan …”.
3.      Al-Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar -rahimahullah- berkata sebagaimana dalam Al-Hawy hal. 196,
Asal amalan maulid adalah bid’ah, tidak pernah dinukil dari seorangpun dari kalangan salaf ash-sholeh pada tiga zaman (keutamaan)…”.
4.      Imam As-Sakhowy -rahimahullah- berkata sebagaimana dalam Al-Mauridur Rowy fil Maulidin Nabawy karya Mulla ‘Ali Qori`, hal. 12,
“Asal amalan maulid yang mulia tidak pernah dinukil dari seorangpun dari kalangan salafush sholih pada 3 zaman keutamaan, tidaklah dia muncul kecuali pada zaman setelahnya dengan maksud-maksud yang baik”.
[Maksud baik semata tidak menyebabkan suatu amalan diterima sebagaimana telah berlalu penjelasannya pada bab Syarat Diterimanya Amalan]
5.      Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliky berkata dalam kitabnya Haulul Ihtifal bil Maulid, hal. 19,
“Perayaan maulid walaupun tidak pernah ada di zaman beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- sehingga dia adalah bid’ah. Akan tetapi bid’ah yang hasanah karena dia masuk ke dalam dalil-dalil syari’at dan kaidah-kaidah (syari’at) yang menyeluruh”.
[Ini adalah ucapan yang batil, tidak ada satupun dalil -baik yang umum maupun yang khusus- serta kaidah dalam Islam yang menunjukkan bahwa perayaan maulid memiliki asal dalam syari’at, tidak dari dekat dan tidak pula dari jauh sebagaimana yang telah berlalu pada bab Syubhat Orang-Orang yang Merayakan Maulid serta Bantahannya]
6.      Yusuf Ar-Rifa’iy berkata dalam kitabnya Ar-Roddul Muhkim Al-Manihal. 153,
“Sesungguhnya berkumpulnya manusia untuk mendengarkan kisah maulid Nabawy yang mulia adalah perkara yang baru diada-adakan setelah zaman kenabian. Bahkan tidaklah dia muncul kecuali pada awal-awal abad ke 6 Hijriah”.
Catatan Penting
Dari semua perkataan ulama di atas -khususnya para ulama yang melarang dari perayaan maulid-, kita bisa melihat dengan jelas bahwa mereka (para ulama) hanya menghukumi perayaan maulid Nabi -Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- sebagai bid’ah serta orang-orang yang melakukannya dan yang membelanya adalah pelaku bid’ah [Tapi jika perayaan tersebut berisi perkara-perkara kesyirikan maka perayaannya ketika itu dihukumi sebagai kesyirikan serta orang-orang yang terjun melakukan kesyirikan tersebut dihukumi sebagai orang musyrik, jika terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan hilang semua penghalang-penghalang yang melarang dia untuk dikafirkan, seperti kebodohan atau karena menta`wil dan sebagainya].
Oleh karena itu sungguh suatu kedustaan besar apa yang diucapkan oleh Yusuf Ar-Rifa’iy -dalam kitabnya Ar-Roddul Muhkam Al-Mani’  ‘ala Munkarat wa Syubhat Ibn Mani’, hal. 15 sampai 16- serta Rasyid Al-Marikhy -dalam I’lamun Nabil, hal. 17 sampai 18- yang mana keduanya berkata bahwa para ulama [Yang mereka maksudkan di antaranya adalah Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah Ta’ala-] yang mengingkari perayaan maulid menghukumi orang-orang yang merayakan maulid sebagai orang musyrik, na’udzu billah.
“Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; tidak ada yang mereka katakan kecuali kedustaan”.
(QS. Al-Kahfi : 5)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz -rahimahullah- berkata,
“Saya telah menulis sejak beberapa waktu yang lalu suatu ucapan yang merupakan jawaban dari pertanyaan tentang hukum perayaan maulid, dan saya jelaskan di dalamnya bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah yang dimunculkan dalam agama.
…sesungguhnya apa yang disebutkan oleh bagian penyiaran radio Britania dalam sebuah siarannya di subuh hari di London beberapa hari yang lalu tentang saya bahwa saya mengatakan bahwa perayaan maulid adalah kekafiran. Ini adalah kedustaan, tidak ada landasan kebenarannya, dan setiap orang yang memperhatikan ucapanku akan mengetahui hal tersebut”.
[Majmu’ Fatawa (2/380)]
Syaikh Abu Bakr Al-Jaza`iry -hafizhohullah- berkata dalam Al-Inshof fima Qila fil Maulid minal Ghuluwwi wal Ij’af, hal. 76,
“Sesungguhnya bid’ah yang seperti ini -yaitu bid’ah maulid Nabi- tidaklah dikafirkan pelakunya dan tidak pula orang yang menghadirinya. Menyifati seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan bukanlah perkara yang ringan”.
[Lihat : Al-Maurid fii Hukmil Ihtifal bil Maulid karya ‘Uqail bin Muhammad Al-Yamany hal. 31-41, Al-Bida’ Al-Hauliyah hal. 195-206 dan Ar-Rodd ‘ala Syubhat man Ajazal Ihtifal bil Maulid karya Abu Mu’adz As-Salafy, bab ketiga]
Diambil dari : Buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah, cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007; dari kautsarku dari abdullah al-aussie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar